Kisah Putri Ular (Sumatera Utara)
Alkisah, ada seorang putri yang amat cantik. Sayangnya, dia sering mengucapkan kata-kata buruk. Walau Raja dan Ratu kerap menegurnya, sang Putri tetap tak berubah. Jika ada kejadian yang tidak menyenangkan hatinya, dengan mudahnya dia berkata buruk.
“Lebih baik jadi orang buta daripada harus memandangi wajahmu yang cemberut terus,” katanya suatu hari pada dayang istana.
Mendengar ucapan putrinya, Ratu jadi khawatir.
“Bagaimana jika kau benar-benar buta nanti?” tanya Ratu cemas.
Putri tak peduli. Pari hari ke hari, Putri semakin sering berkata buruk.
Suatu hari, datanglah raja muda dari negeri seberang. Dia hendak melamar Putri untuk dijadikan permaisuri. Tentu saja Putri senang, apalagi raja muda itu juga tampan. Pesta pernikahan akan dilaksanakan bulan depan.
Putri ingin tampil cantik pada hari pernikahannya. Untuk itu, dia rajin merawat diri. Tiap hari, dia mandi di danau kecil di belakang istana. Air mandinya dicampur dengan aneka bunga. Dengan dibantu dayang-dayangnya, Putri bisa mandi tiga kali dalam sehari.
Suatu sore, seperti biasa Putri mulai mandi. Tiba-tiba, ada seekor burung melintas cepat di atas kepalanya. Karena terkejut. Putri berteriak sambil mendongak. Tak dinyana, burung itu malah mematuk hidungnya. Putri tak sempat menghindar. Darah pun berceceran dari hidungnya.
“Aduhh… hidungku!” teriak Putri. Sambil memegang hidungnya yang berdarah, Putri menangis dan kembali ke kamarnya.
Putri tersedu-sedu. Dia merasa kecewa karena tak bisa menjaga kecantikannya.
“Mana mau raja muda itu menikahi wanita berhidung buruk begini?” isaknya.
Ratu tersenyum mendengar ucapan Putri. “Jangan khawatir. Jika sang raja muda memang mencintaimu, luka kecil ini pasti tak jadi masalah,” kata Ratu.
“Luka kecil? Ini bukan luka kecil, Bu! Luka ini pasti membekas dan berwarna hitam!” teriak Putri dengan marah.
Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba Putri berkata, “Barangkali lebih enak menjadi ular. Kulitnya tebal dan bersisik. Luka sedikit pasti tak akan kelihatan.”
Sebelum Ratu sempat menjawab, tiba-tiba langit bergemuruh. Ratu dan Putri ketakutan. Mereka saling berpelukan.
“Anakku, apa yang terjadi padamu!” teriak Ratu panik. Ternyata, Putri berubah menjadi ular besar dengan kulit kasar dan bersisik, persis seperti yang diharapkan oleh Putri.
Ratu menangis. Dia menyesali perkataan putrinya yang diucapkan secara sembrono. “Anakku, bukankah sudah berulang kali Ibu mengingatkanmu agar menjaga ucapanmu?” isaknya sedih.
Ular itu tak bisa menjawab. Dia hanya menggeleng- gelengkan kepalanya sambil mendesis. Namun, sang ular menitikkan air mata, tanda bahwa dia amat menyesal.
Raja yang mengetahui kejadian ini juga tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya, Putri yang telah menjadi ular itu tinggal di halaman belakang istana. Dia lebih senang tinggal di alam bebas. Sekarang, semua orang memanggilnya “Putri Ular”.