Asal Usul Pagar Dewa (Bengkulu)

Alkisah, zaman dahulu kala di Bengkulu, terdapat sebuah telaga.

Masyarakat Bengkulu saat itu menyebutnya dengan nama telaga Dewa, karena mereka mempercayai bahwa telaga tersebut merupakan tempat membersihkan diri para dewa dari kahyangan saat bulan purnama.

Masyarakat tidak berani mendekati telaga Dewa karena percaya bahwa telaga Dewa merupakan tempat keramat.

Di sebuah desa ada seorang bujang tua yang berharap ingin cepat menikah.

Si bujang tua tidak mempercayai anggapan masyarakat bahwa telaga Dewa merupakan tempat para dewata membersihkan diri.

Muncul niatan dari si bujang tua untuk membuktikan anggapan masyarakat mengenai telaga Dewa.

Ia berniat akan mendatangi telaga Dewa di saat bulan purnama nanti.

Tibalah saat bulan purnama, Si bujang tua segera bergegas mendatangi telaga Dewa dengan rasa penasaran.

Awalnya ia tidak melihat hal-hal aneh di telaga Dewa.

Namun setelah sekian lama menunggu, akhirnya datanglah 7 orang dewi sangat cantik jelita ke telaga tersebut.

Mata si bujang tua terbelalak takjub melihat kecantikan ketujuh bidadari kahyangan tersebut.

Ketujuh bidadari kemudian mandi di telaga, sementara si bujang tua mengamati mereka dari semak-semak pepohonan.

Setelah selesai mandi, ketujuh bidadari kemudian kembali terbang ke kahyangan.

Sepeninggal para bidadari, Si bujang berpikir keras bagaimana caranya agar ia dapat memperistri salah satu dari ketujuh bidadari tersebut.

Akhirnya ia mendapat ide untuk membuat pagar di sekeliling telaga Dewa.

Ia berharap agar saat mandi nanti, para bidadari akan menggantungkan selendang mereka ke pagar yang ia buat.

Dengan demikian, si bujang bisa mencurinya.

Dengan sabar si Bujang tua menunggu malam bulan purnama berikutnya.

Tibalah bulan purnama di bulan berikutnya.

Si bujang segera mendatangi telaga Dewa dan bersembunyi di semak-semak.

Seperti biasa, para bidadari turun dari kahyangan untuk membersihkan diri di telaga Dewa.

Saat mandi, ada seorang dewa yang menyimpan selendangnya di pagar.

Saat para dewa lengah, si bujang kemudian diam-diam mencuri selendang dari salah satu dewa tersebut.

Si Bujang Mencuri Selendang

Setelah selesai mandi, para dewa segera memakai kembali pakaian dan selendang mereka.

Namun salah satu dewa, yaitu dewa paling bungsu, tidak menemukan selendang miliknya.

Akibatnya ia tak bisa kembali terbang ke kahyangan.

Si Dewa bungsu ditinggalkan oleh saudara-saudaranya ke kahyangan.

Merasa sangat sedih tidak bisa kembali ke kahyangan, si Dewa bungsu itupun pergi menghilang entah kemana.

Hingga sekarang, masyarakat tak ada yang mengetahui kemana perginya Dewa tersebut.