Legenda Aki Arut dan Batu Tenebang (Dongeng Kalimantan Utara)

Di sebuah hutan, hiduplah seorang laki-laki bernama Aki Arut bersama istrinya, Adu’ Kimpo, keduanya hidup di dalam sebuah gua.

Kebahagian mereka bertambah, ketika Adu’ Kimpo melahirkan satu orang putra, dan satu putri.

Saat kedua anaknya sudah menginjak remaja, Aki Arut dan istri berpamitan kepada kedua anaknya, untuk pergi memukul Sagu di hutan. Oleh karena itu, kedua anaknya harus ditinggal di dalam gua.

Ketika orang tuanya sudah pergi meninggalkan mereka, kedua anaknya melihat Burung Janeta dan Yowaing, atau seekor Ayam kecil di depan gua.

Kedua anak Aki Arut pun lantas keluar, dan berusaha menangkapnya.

Setelah mendapatkannya, hewan tersebut bukan menjadi santapan, melainkan untuk diadu antara satu dengan lainnya .

Ketika mereka sedang menonton pertarungan unggas itui, awan yang tadinya cerah perlahan-lahan berubah menjadi pekat dan hitam.

Kedua anak Aki Arut tidak melihat perubahan alam tersebut, karena terus-menerus melakukan pertarungan. Hingga pada akhirnya, salah satu unggas mati.

Sesaat setelah kejadian ini, terdengar suara gemuruh langit. Saat itu kedua anak Aki Arut baru sadar, merekapun langsung menatap ke atas langit.

Tiba-tiba keduanya melihat hujan batu, dan mereka langsung bergegas berlari menuju gua untuk berlindung.

Namun belum sempat menuju gua, langkah mereka tertahan. Daratan tempat mereka berpijak langsung berubah menjadi gunung yang menjulang ke atas langit.

Saat keduanya berada tepat di atas gunung yang diselimuti awan gelap, mereka pun berteriak memanggil ayahnya, hingga berulang-ulang kali.

Kayak beradik ini hanya mampu berharap, ayahnya bisa mendengar teriakan mereka.

Adu’ Kimpo yang bekerja memukul sagu bersama suaminya di hutan, tiba-tiba dadanya terasa sesak.

Dia dapat merasakan, ada yang tidak beres dengan kedua anaknya. Aki Arut yang melihat istrinya, sontak menghentikan pekerjaannya. Mereka pun memutuskan untuk pulang

Di tengah perjalanan pulang, Aki Arut mendengar suara yang terdengar samar-samar. Dia menduga suara itu adalah suara anaknya, dan berusaha mencari asal dari suara tersebut.

Matanya langsung tertuju ke arah gunung yang berselimut awan gelap. Dari kejauhan, sesekali dia bisa melihat kedua anaknya berada disana.

Sementara sang istri yang turut menyaksikan pemandangan itu, langsung pingsan seketika.

Aki Arut berusaha untuk menjangkau puncak gunung tersebut, namun usahanya ini tidak berhasil.

Setiap kali Aki Arut ingin menggapai puncak gunung, hujan batu terus-menerus berjatuhan mengenai dirinya.

Hingga akhirnya, batu-batu itu memenuhi sungai Abath.

Selang beberapa saat kemudian, kabut yang menyelimuti kedua anaknya tiba-tiba mengeras, dan berubah menjadi batu.

Hingga keduanya terperangkap di dalam batu. Namun, suara teriakan kedua anak ini terus mendengung keras.

Sang ayah yang sudah berusaha sekeras, akhirnya putus asa untuk mencari cara agar bisa mengeluarkan kedua anaknya dari dalam batu.

Dia hanya bisa menangis menyaksikan kedua anaknya tertelan batu.

Keduanya lantas pulang ke gua, dan tertidur. Saat itu Aki Arut bermimpi, dan melihat arwah kedua orangtuanya yang memanggil namanya berkali-kali.

Mereka meminta Aki Arut untuk menyelamatkan anaknya, dengan menggunakan kapak pusaka miliknya.

Di dalam mimpinya, kedua orang tuanya juga berpesan. Jika telah berhasil membelah batu itu, dia harus tetap diam, agar kedua anaknya bisa selamat.

Aki Arut segera bergegas keluar dari gua, untuk menyelamatkan anaknya, sambil membawa kapak pusaka.

Dia sempat mengasah kapak itu terlebih dahulu, tepat di atas batu tersebut.

Saat mengasah kapak itu, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh petir, yang menyambar Bumi sebanyak dua kali.

Dia berharap, penampakan adalah sebagai pertanda, bahwa mimpinya adalah benar. Aki Arut langsung mengangkat kapaknya, dan menancapkannya ke batu.

Usahanya pun membuahkan hasil, dan batu itu mulai terbelah. Kedua tangan anaknya mulai terlihat.

Beberapa menit kemudian suara kedua anaknya terdengar hingga membuat Arut menangis dan bergegas menyelamatkan anaknya.

Aki Arut yang dapat mendengar suara anaknya, berusaha tetap diam, dan terus merebahkan batu itu.

Kedua anak itu perlahan sudah semakin terlihat jelas. Arut sudah dapat melihat kedua badan anaknya. Hanya saja, kakinya masih berada di dalam batu.

Kedua anaknya tetap berteriak meminta tolong, namun Sang Ayah tetap tidak menjawab suara anaknya. Dia terus mengayunkan kapaknya, dan, berharap batu akan cepat terbelah.

Ketika melihat tanda-tanda batu akan rebah. Kaki kedua anaknya pun perlahan-lahan mulai terlihat.

Saking senangnya, tanpa sadar Aki Arut berteriak memanggil nama anaknya. Dia lupa untuk tetap diam, dan sudah melanggar pantangan dari orang tuanya.

Dan akhirnya, belum sempat kaki kedua anaknya keluar dari batu, secara perlahan batu tersebut mulai mengeras kembali.

Sang Ayah yang terkesima melihat kejadian ini, langsung mencoba menarik anaknya.

Namun sudah terlambat, walaupun sudah mencoba untuk membelah kembali batu itu. Akan tetapi, kali ini usahanya gagal, hingga mata kapaknya patah.

Batu yang menelan kedua anak Aki Arut tersebut, saat ini bernama Batu Tenebang, yang artinya batu ditebang. Posisinya terdapat di hulu sungai Abath.