Kisah Chunhyang dan Yi Mong-ryong (Korea Selatan)

Cerita asal negeri Korea Selatan ini berkisah mengenai percintaan sepasang kekasih bernama Chunhyang dan Yi Mong-ryong. Chunhyang adalah seorang gadis biasa anak seorang penari jalanan yang memiliki paras yang cantik. Sedangkan Yi Mong-ryong berasal dari golongan bangsawan karena dia merupakan putra gubernur kota Namwon, provinsi Jeolla. Dua sejoli ini saling mencintai, meski mereka tahu jika hubungan beda kelas sosial tersebut tidak akan direstui.

Kisah bermula dari kota Namwon. Seorang anak pejabat bernama Yi Mong-ryong tumbuh dewasa menjadi pemuda yang sangat tampan. Pada suatu pagi, ia ingin sekali melihat pemandangan di alam liar yang bagus. Ia pun memanggil seorang pembantunya yang bernama Bangja. “Bangja, apakah kau tahu tempat di mana aku bisa melihat pemandang yang indah di daerah sini?” kata Yi Mong-ryong. “Oh… ada tuan, tempatnya di dekat Jembatan Ojak, di sana tuan bisa melihat pemandangan alam yang sangat indah,” jawan Bangja. “Kalau begitu mari antarkan aku ke sana,” ucap Yi Mong-ryong. Bangja pun menjawab, “Baiklah tuan, mari kita berangkat.”

Mereka kemudian berangkat ke Jembatan Ojak. Sampai di sana Yi Mong-ryong takjub melihat pemandangan yang memang indah dan begitu memesona. Lalu saat Yi Mong-ryong berjalan-jalan, dari kejauhan ia melihat seorang gadis cantik yang sedang bermain ayunan di bawah pohon. Yi Mong-ryong terpesona dengan kecantikan gadis itu lalu menanyakannya pada Bangja, “Hey Bangja, apakah kau tahu siapakah gadis yang sedang bermain ayunan itu?,” tanya Yi Mong-ryong. “Oh… tahu tuan, dia bernama Chunhyang, dia berasal dari rakyat bawah seperti saya tuan,” jawab Bangja. Bangja mengatakan jika gadis itu tidak hanya dikenal akan kecantikannya namun juga kebaikan hatinya.

Yi Mong-ryong semakin terpesona, ia pun menyuruh pembantunya untuk men­datangi Chunhyang dan bilang padanya agar ia menemuiku. Bangja kemudian menjalankan perintah tuannya. Bangja pun dengan sopan bilang ke Chunhyang bahwa tuannya ingin bertemu dengannya. Namun Chunhyang kemudian berkata kepada Bangja, “Maaf pak apakah anda tahu jika kupu-kupu harus mengejar sekuntum bunga, dan angsa harus mencari lautan?,” ujar Chunhyang. Mendapat jawaban itu Bangja lalu pamit dan kembali pada tuannya dan mengutarakan apa yang dikatakan Chunhyang.

Yi Mong-ryong jadi kecewa, namun Bangja kemudian menyemangati tuannya dan menyarankan supaya tuannya menemui gadis itu sendiri. Yi Mong-ryong terdiam se­jenak sembari terus memandang Chunhyang dari kejauhan, ia bicara dalam hati, “Benar juga kata Bangja, aku memang yang harus menemui gadis itu sendiri, hari ini aku sudah beruntung bisa melihat dia, jangan sampai keberuntunganku ini hilang esok hari,” pikir Yi Mong-ryong. Namun sebelum Yi Mong-ryong menemui gadis itu, Chunhyang yang merasa tidak nyaman karena dipandang terus oleh Yi Mong-ryong akhirnya berlari pu­lang ke rumahnya.

Semenjak kejadian itu Yi Mong-ryong terus memikirkan Chunhyang. Ia menjadi tidak bisa konsentrasi saat belajar karena di kepalanya selalu terbayang wajah Chunhyang. Kemudian Yi Mong-ryong memanggil Bangja, “Bangja, aku harus menemui gadis yang kemarin itu malam ini, bukankah gadis itu mengatakan bahwa kupu-kupu harus mengejar sekuntum bunga?,” ucap Yi Mong-ryong. “Ayo antarkan aku ke rumahnya,” lanjut Yi Mong-ryong. Yi Mong-ryong dan pembantunya Bangja pun pergi ke rumah Chunhyang tanpa sepengetahuan ayah Yi Mong-ryong.

Di sisi lain, di rumah Chunhyang, ibunya sedang berbicara pada Chunhyang. Ibunya berkata bahwa semalam ia bermimpi di mana ada seekor naga biru mengelilingi tubuh Chunhyang lalu menggenggam Chunhyang dan membawanya terbang ke angkasa. Ibu Chunhyang bingung apa maksud dari mimpi tersebut.

Tak lama kemudian datanglah Yi Mong-ryong bersama Bangja. Mereka me­nyampaikan maksud kedatangannya pada ibu Chunhyang bahwa Yi Mong-ryong ingin meminang Chunhyang. Ibu Chunhyang sangat senang, karena ia tahu bahwa Yi Mong- ryong adalah anak seorang bangsawan terhormat, lalu ia memanggil anaknya untuk me­nemui Yi Mong-ryong.

Meski sangat bahagia jika anak gadisnya bakal dipersunting Yi Mong-ryong, namun ibu Chunhyang yang paham aturan adat agak sedikit khawatir. Ia pun berkata, “Maaf tuan Yi Mong-ryong, anda ini berasal dari golongan bangsawan sedangkan kami hanya rakyat jelata, tentunya pernikahan resmi tidak akan mungkin bisa dilaksanakan karena bertentangan dengan adat,” ucap ibu Chunhyang.

Yi Mong-ryong dan Chunhyang yang sudah saling jatuh hati menjadi lesu mendengar penjelasan ibunya. Yi Mong-ryong pun berkata, “Iya benar, namun aku begitu mencintai anakmu dengan tulus aku ingin menikahinya, tidak adakah cara lain agar aku bisa bersama anakmu?,” tanya Yi Mong-ryong.

Ibu Chunhyang pun berkata, “Sebenarnya ada tuan, karena perbedaan derajat ini, menikah secara resmi memang mustahil, kecuali anda menulis surat nikah secara rahasia dan berjanji tidak akan menelantarkan Chunhyang,” imbuh ibu Chunhyang.

Kemudian, Yi Mong-ryong mengambil kuas dan menuliskan kalimat yang berbunyi: “Lautan biru mungkin saja bisa berubah menjadi ladang buah murbei, dan lahan murbei mungkin saja bisa berubah menjadi lautan biru. Namun hasrat hatiku pada Chunhyang tidak akan mungkin berubah selamanya. Surga dan bumi, para dewa yang menjadi sak­sinya.”

Singkatnya, setelah itu mereka pun menikah secara diam-diam. Ibu Chunhyang dan Bangja menjadi saksi. Setelah pernikahan rahasia itu, Yi Mong-ryong selalu datang menemui kekasihnya. Mereka bahagia dan saling mencintai. Terkadang Chunhyang harus mengingatkan suami untuk pulang dan belajar supaya kelak bisa menjadi pejabat besar seperti ayahnya.

Sayangnya, kebahagiaan itu tidak lama karena keluarga Yi Mong-ryong harus pindah ke ibu kota Seoul dikarenakan pekerjaan ayahnya. Dan Yi Mong-ryong harus mendampingi ayahnya. Yi Mong-ryong kemudian datang menemui Chunhyang dan me­ngabarkan kabar buruk ini. Pasangan itu pun terpaksa berpisah.

Chunhyang pun melepas kepergian suaminya di Jembatan Ojak. Chunhyang lalu memberikan Yi Mong-ryong sebuah cincin, “Ini tanda cintaku padamu, simpanlah cincin ini sampai hari di mana kita akan bertemu lagi. Pergilah dengan tenang, tapi jangan lupakan aku. Aku akan tetap setia padamu dan menunggumu datang kembali untuk membawaku pergi ke Seoul,” ucap Chunhyang dengan sedih. Setelah itu mereka berpisah.

Tak lama, datanglah pejabat kota yang baru datang menggantikan posisi ayah Yi Mong-ryong di Namwon. Pejabat baru ini bernama Byun Hakdo, ia sangat otoriter. Belum apa-apa ia sudah menyuruh bawahannya untuk membawakan gadis tercantik dari Namwon yang tidak lain adalah cantik Chunhyang. Dengan paksaan akhirnya Chunhyang didatangkan kepada pejabat baru tersebut.

Melihat Chunhyang yang cantik jelita, Byun Hakdo langsung tertarik dan ingin me­nikahinya. Chunhyang pun menolak dengan halus namun Byun Hakdo terus memaksa. Pada akhirnya Chunhyang bilang bahwa dia sudah terikat dengan Yi Mong-ryong. Hal itu membuat Byun Hakdo marah dan memasukkan Chunhyang ke penjara.

Chunhyang yang merasa tidak bersalah pun protes, “Aku tidak melakukan hal yang salah. Sebagai seorang istri, adalah hal seharusnya aku tetap setia kepada suaminya. Sama halnya dengan pejabat yang setia pada rajanya,” ucap Chunhyang sekaligus mengingatkan Byun Hakdo. Namun bukannya Byun Hakdo sadar, ia malah semakin marah hingga akhirnya Chunhyang pun hidup di bui.

Sementara itu di Seoul, Yi Mong-ryong menfokuskan diri untuk belajar. Dan pada saat mengikuti ujian nasional negara, ia lulus dengan nilai tinggi. Karena kepandaiannya itu Yi Mong-ryong mendapat tawaran untuk bekerja di istana menjadi salah satu pembantu raja.

Saat Sang Raja mengucapkan ucapan selamat pada Yi Mong-ryong karena berhasil lulus ujian, Sang Raja bertanya, “Apakah kau ingin menjabat sebagai pejabat kerajaan?” tanya Sang Raja. “Hamba menginginkan posisi sebagai amhaeng osa (semacam inspektur polisi),” jawab Yi Mong-ryong. Raja pun kemudian mengangkat Yi Mong-ryong sebagai amhaeng osa karena hal itu pantas baginya.

Setelah menjabat sebagai amhaeng osa, Yi Mong-ryong berkelana ke seluluh Ne­geri Korea dan menyamar sebagai pengemis. Ia kemudian menuju Namwon. Dalam per­jalanan, dia mendekati seseorang pertani. Dari situ ia tahu bahwa gubernur pengganti ayahnya yang bernama Byun Hakdo adalah gubernur yang kejam. Para petani diharuskan membayar pajak sangat banyak sehingga menjadi miskin.

Yi Mong-ryong kemudian bertanya, “Aku dengar kalau Gubernur Byun Hakdo sudah menikahi Chunhyang dan mereka kini hidup bahagia,” tanya Yi Mong-ryong mencari info. Tiba-tiba ia disentak oleh salah seorang petani, “Beraninya kau berkata seperti itu anak muda, dari mana kabar itu? jangan pernah mengatakan sesuatu yang kau tidak tahu, Chunhyang adalah gadis setia yang malang. Karena kesetiaannya itu sekarang ia mendekam di penjara.”

Lalu seorang lagi berkata, “Kemalangan Chunhyang tak lain karena anak pejabat yang dulu menikahi Chunhyang, namun pada akhirnya meninggalkan gadis itu dan tidak pernah kembali… kasihan sekali Chunhyang… terus menanti pemuda pengecut itu.”

Mendengar ucapan petani itu Yi Mong-ryong pun terkejut, lalu ia pergi meninggalkan para petani. Di jalan ia berpapasan dengan segerombolan pemuda lokal, ia mendengar para pemuda berbicara mengumpat sang pejabat baru. Yang membuat Yi Mong-ryong lebih kaget adalah saat salah seorang pemuda bilang jika Chunhyang akan dihukum mati antara 2-3 hari ini karena tidak menerima lamaran gubernur yang baru. Yi Mong- ryong menjadi sangat kawatir dengan keadaan istrinya, ia pun menyusun rencana untuk membebaskan istrinya itu sembari terus mencari info.

Sementara itu Chunhyang masih dikurung di penjara, ia sakit-sakitan sehingga tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya pucat. Suatu hari, ia bermimpi berada di pekarangan rumahnya, bunga-bunga ia tanam kini sudah layu, cermin yang berada di kamarnya pecah, dan sepatunya tergantung di pintu masuk. Karena mimpi itu, Chunhyang menjadi cemas lalu menanyakannya pada kakek buta yang juga dipenjara.

Kakek buta kemudian menjelaskan makna mimpi Chunhyang, “Bunga-bunga layu itu akan tumbuh lagi dan berbuah menjadi bunga baru, bunyi pecahan cermin berarti berita yang akan terdengar ke seluruh negeri, sedangkan sepatu yang ada dipintu pertanda akan banyak orang datang untuk mengucapkan selamat.”

Chunhyang pun berterima kasih pada kakek buta itu dan berharap semoga arti mimpinya itu benar-benar nyata. Namun di sisi lain Chunhyang pun tak berharap banyak karena dalam beberapa lagi ia akan dieksekusi berbarengan dengan pesta yang diadakan gubernur.

Sementara itu, Yi Mong-ryong akhirnya tiba di kota Namwon dan langsung pergi ke rumah Chunhyang. Mulanya ibu mertuanya tidak mengenalinya karena Yi Mong-ryong berpakaian sebagai pengemis. Kemudian Yi Mong-ryong meminta ibu mertuanya untuk mengantarkannya pada Chunhyang. Berkat bantuan ibu mertuanya, Yi Mong-ryong dan Chunhyang akhirnya bertemu. Yi Mong-ryong senang sekali melihat Chunhyang karena sudah lama sekali ia tidak melihat istrinya. Hal yang sama juga dirasakan Chunhyang. Chunhyang kemudian berkata, “Besok aku akan dihukum mati, aku ingin kau datang di pagi hari karena aku mau melihat wajahmu untuk terakhir kali,” ucap Chunhyang sembari menangis. Yi Mong-ryong dan ibu Chunhyang pun kemudian pergi.

Chunhyang dan ibunya tidak tahu jika sebenarnya Yi Mong-ryong adalah seorang amhaeng osa, mereka mengira keluarga Yi Mong-ryong bangkrut sehingga Yi Mong- ryong kemudian menjadi pengemis.

Setelah itu Yi Mong-ryong pun menyusun rencana setelah mengoordinir para petugas kepolisisan di Namwon. Yi Mong-ryong berpesan kepada semua bawahannya bahwa penyamarannya jangan sampai terbongkar sebelum waktunya tiba.

Hari pesta dan eksekusi Chunhyang pun tiba. Sudah menjadi kebiasaan jika pejabat kerajaan mengadakan pesta besar, maka para pengemis akan berdatangan untuk minta sedekah makanan. Yi Mong-ryong juga datang dengan pakaian pengemis.

Yi Mong-ryong bergabung dengan para pengemis lain. Kemudian ia berpapasan dengan bawahan gubernur bernama Yongjang. “Tuan… saya sangat lapar sekali, bisakah anda memberiku sedikit makanan?,” pinta Yi Mong-ryong. Melihat pengemis itu, Yongjang merasa iba dan kemudian menyuruh seorang pembantunya membawakan makanan. “Terimakasih, karena tuan sudah memberiku makanan. Hamba akan berikan balasan buat tuan berupa sebuah puisi,” kata Yi Mong-ryong.

Yi Mong-ryong pun berdiri memberikan secarik kertas berupa puisi buatannya, berikut puisi tersebut:

Anggur yang terisi dalam piala yang indah

Adalah darah dari ribuan orang

Daging-danginya yang disuguhkan dengan megah di meja giok

Adalah daging dan kesusahan beribu-ribu tahun

Yang terbakar di perjamuan mewah ini, adalah air mata orang-orang yang kelaparan.

Suara berisik dari nyanyian kaum bangsawan

Terdengar sama dengan keluhan para petani.

Yongjang kaget membaca puisi dari si pengemis Yi Mong-ryong karena puisi ini seakan-akan menghina para pejabat, ia pun kemudian mau menanyakannya pada pengemis namun Yi Mong-ryong sudah hilang bergabung dengan para pengemis lain.

Yongjang merasa terhina, ia kemudian menemui Byun Hakdo dan memberikan puisi itu. Membaca puisi tersebut, Byun Hakdo langsung murka, “Siapa yang berani menulis puisi ini?,” tanya Byun Hakdo dengan geram. “Salah seorang pengemis muda,” Kata Yongjang. “Kurang ajar pengemis itu, dia sudah menghina…,” ucap Byun Hakdo.

Pengawal!!!! Cari pengemis yang membuat puisi ini dan bawa padaku,” teriak Byun Hakdo kepada para pengawalnya. Para pengawal pun bergegas mencari para pengemis di halaman depan halaman diikuti oleh Byun Hakdo. Namun belum sampai keluar halaman, Byun Hakdo kaget karena banyak anggota polisi kerajaan datang. Yi Mong-ryong kemudian keluar dari kumpulan gerombolan pengemis dan kemudian ia memberitahukan identitas aslinya. Byun Hakdo segera ditangkap karena sudah sudah bertindak tidak adil, menyengsarakan rakyat.

Kini Yi Mong-ryong mengambil alih tugas Byun Hakdo. Ia lalu segera menyuruh pengawal untuk membawa Chunhyang kepadanya untuk diadili, “Katakan pada wanita yang bernama Chunhyang kalau utusan raja telah datang untuk mengadili kasusnya,” ucap Yi Mong-ryong kepada pengawal. Pengawal pun bergegas masuk ke ruang ta­hanan. Sesampai di dalam, pengawal langsung menyeret Chunhyang, “Ayo ikut kami, kini saatnya kau untuk diadili karena pengawal kerajaan sudah datang,” kata pengawal kepada Chunhyang.

Chunhyang sangat takut dan menangis, ia memanggil-manggil ibunya yang sejak pagi sudah menemaninya. “Ibu, hidupku sudah berakhir ibu, selamat tinggal ibu… Mana Yi Mong-ryong… kenapa ia tidak menemuiku di akhir masa hidupku?,” tanya Chunhyang pada ibunya. “Sudah jangan banyak bicara, ayo cepat, utusan kerajaan sudah menunggu,” gertak pengawal. Chunhyang pun dibawa ke pengadilan.

Chunhyang kemudian diadili, Yi Mong-ryong duduk di kursi hakim dibelakang la­yar putih menutupi wajahnya. Ia kemudian berkata kepada Chunhyang, “Chunhyang, ini adalah pengadilanmu, jika kau tidak mau menerima cinta Byun Hakdo, apakah jika aku memintamu untuk jadi istriku, apakah kau mau? Jika kau mau kau terbebas dari hukumanmu,” ujar Yi Mong-ryong.

Chunhyang yang mulanya takut menjadi marah mendengar ucap petugas kerajaan, “Oh.. Tuhan… betapa sengsaranya orang-orang miskin di negeri ini! Mereka hanya dijadikan budak bagi para pejabat, seorang inspektur yang seharusnya membawa keadilan untuk rakyat, ternyata sama saja dengan gubernur penindas Byun Hakdo… Oh Tuhan tunjukkan keadilan-Mu Tuhan!!!,” teriak Chunhyang.

Yi Mong-ryong kemudian menyuruh petugas pengadilan membuka tali pengikat lengan Chunhyang. “Sekarang naikkan kepalamu dan lihat aku!,” kata Yi Mong-ryong ke­pada Chunhyang. “Tidak!, aku tak sudi melihat tuan… anda boleh segera menghukumku, hamba sudah siap dihukum daripada terus menerus melihat kebusukan para pejabat dan ketidakadilan ini!!!,” jawab Chunhyang.

Yi Mong-ryong tersentuh dengan ucapan istrinya itu. Ia mencopot cincin yang dulu pernah diberikan Chunhyang pada dirinya, lalu menyuruh pengawal memperlihatkan pada Chunhyang. Setelah Chunhyang melihat cincin itu, ia langsung berbalik dan melihat inspektur polisi. Chunhyang menangis bahagia ketika mengetahui orang dibalik layar itu adalah Yi Mong-ryong suaminya. “Oh, Tuhan… terima kasih Kau tunjukkan keadilan-Mu, kemarin suamiku hanyalah seorang pengemis dan kini seorang inspektur kerajaan!,” kata Chunhyang berseri-seri. Yi Mong-ryong dan Chunhyang kemudian saling berpelukan.

Sementara, gubernur Byun Hakdo lalu diadli dan dicabut jabatannya. Ia kemudian diasingkan ke pulau terpencil karena tindak kejahatannya. Semua rakyat Namwon senang melihat kembalinya Yi Mong-ryong yang membawa keadilan dan kini mereka sudah tidak ditindas lagi dan hidup tentram.

Setelah itu, Yi Mong-ryong membawa Chunhyang ke ibu kota Seoul. Yi Mong-ryong melaporkan kasus Byun Hakdo dan menceritakan kisahnya pada Sang Raja. Raja pun tersentuh mendengar cerita Yi Mong-ryong lalu memberikan gelar bangsawan pada Chunhyang. Bagi Sang Raja, meskipun Chunhyang lahir dari keluarga miskin, dan ibunya seorang wanita penari jalanan, namun sikap Chunhyang adalah model yang patut ditiru oleh semua wanita karena kesetiaannya.

Lalu Yi Mong-ryong membawa Chunhyang pada keluarganya. Hubungan mereka kini direstui. Acara pernikahan besar pun diadakan di rumah Yi Mong-ryong. Kini Yi Mong- ryong dan Chunhyang hidup bahagia selamanya.