Legenda Ikan Patin (Riau)
Suatu hari, Awang Gading menemukan seorang bayi perempuan yang tergeletak di dalam sebuah keranjang. Saat itu, dia hendak pulang usai memancing. Awang Gading memutuskan untuk mengambil bayi itu. Lagi pula, dia hidup sebatang kara. Dia berharap, dia tak kesepian lagi dengan adanya bayi itu. Dia menamakan bayinya Dayang Kumunah.
Bertahun-tahun kemudian, Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis cantik dan baik hati. Dia disukai banyak orang. Awang Gading sungguh bahagia. Namun sayangnya, Dayang Kumunah tak pernah tertawa. Awang Gading tak tahu apa sebabnya.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Awangku Usop datang menemui Awang Gading. Rupanya, dia telah mendengar kecantikan Dayang kumunah. Dia datang untuk melamar Dayang Kumunah. Awang Gading menyerahkan keputusan pada Dayang Kumunah.
“Sebelum menikahiku, ketahuilah bahwa aku adalah penghuni sungai. Dunia kita berbeda, tetapi jika Kanda mau menerimaku apa adanya, aku bersedia menjadi istri Kanda,” jawab Dayang Kumunah. Awangku Usop tak mempermasalahkan asal-usul Dayang Kumunah.
“Satu lagi, jangan pernah memintaku ” untuk tertawa. Aku tak bisa dan tak boleh melakukannya,” kata Dayang Kumunah lagi. Awangku Usop menyetujui semua permintaan Dayang Kumunah dan mereka pun menikah.
Rumah tangga Dayang kumunah dan Awangku Usop amat bahagia Apalagi, mereka dikaruniai lima orang anak yang lucu dan sehat. Awangku Usop sangat menyayangi Dayang kumunah. Paginya, istrinya adalah wanita dan ibu yang hebat.
Suatu hari, anak mereka yang bungsu mulai berjalan. Bagi Awangku Usop, cara berjalannya lucu sekali. Sesekali anak itu terjatuh. Awangku Usop dan anak-anaknya menggoda si bungsu sambil tertawa-tawa.
“Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau tak ikut bergembira bersama kami? Tertawalah, apakah kau tak bahagia melihat kelucuan si bungsu?” tanya Awangku Usop pada Dayang kumunah.
Dayang Kumunah terdiam. Sebenarnya, dia ingin sekali tertawa. Namun, dia tak boleh melakukannya. Awangku Usop terus memaksanya untuk tertawa. Bahkan, suaminya itu menggelitik, dan menggodanya terus-menerus.
Dayang Kumunah menyerah. Dia tertawa terbahak-bahak. Bahunya sampai terguncang-guncang. Saat itulah, Awangku Usop dan anak-anaknya melihat ada insang di dalam mulut Dayang Kumunah, pertanda bahwa istrinya adalah keturunan ikan.
Melihat suami dan anak-anaknya memandangnya dengan aneh, Dayang Kumunah menghentikan tawanya. Dia menyadari kesalahannya, lalu berlari meninggalkan suami dan anak-anaknya,
“Istriku, kau mau ke mana?” teriak Awangku Usop mengejarnya. Kelima anaknya juga mengikuti dari belakang.
Dayang Kumunah berlari ke arah sungai. Sesampai di pinggir sungai, dia menoleh pada suaminya. “Maafkan aku, aku sudah berjanji pada raja penghuni sungai untuk tidak tertawa. Aku tidak diizinkan untuk memamerkan insangku pada siapa pun. Jika aku melanggarnya, maka aku harus kembali ke sungai.”
Usai berkata demikian, Dayang Kumunah menceburkan diri ke sungai. Tubuhnya lalu berubah menjadi ikan yang cantik. Awangku Usop menyesali perbuatannya. Dia tak menyangka bahwa dia harus kehilangan istrinya. Namun, semuanya sudah terlambat. Ikan jelmaan Dayang Kumunah itulah yang sampai sekarang dipercaya oleh masyarakat Riau sebagai ikan patin.