Kisah Malin Kundang (Sumatera Barat)

Alkisah di Sumatera Barat, hiduplah janda beserta anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Meski hidup mereka berkekurangan, sang ibu selalu berusaha keras memberikan kehidupan yang baik bagi Malin.

Ketika Malin dewasa, dia pergi merantau bersama seorang saudagar demi mencari kehidupan yang lebih baik. “Malin akan pulang setelah berhasil. Malin akan menjemput Ibu. Doakan Malin, ya.”

Bertahun-tahun kemudian, Malin kundang menjadi pedagang yang berhasil. Dia berdagang dengan jujur dan menjadi terkenal karenanya. Dia juga sudah menikah dengan putri seorang kepala kampung. Sayangnya, Malin lupa kepada janjinya untuk menjemput ibunya. Malah, dia berbohong kepada istrinya dan mengatakan bahwa ayah ibunya sudah tiada.

Suatu hari, Malin dan istrinya pergi berlayar. Karena cuaca di laut yang amat buruk, nakhkoda memutuskan untuk berhenti di pulau terdekat. Ketika kapal merapat, Malin terhenyak. “Bukankah ini kampung halamanku?” bisiknya cemas. Malin ingin memerintahkan nakhoda untuk berbalik arah, tetapi sudah terlambat.

“Suamiku… lihat! Kapal nelayan itu sedang membongkar ikan. Aku ingin sekali makan ikan segar. Ayo kita turun dan membeli ikan!” ajak istri Malin.

Malin berusaha menolak, tetapi istrinya tak peduli.

Saudagar Malin hendak lewat,” teriak anak buah Malin.

Tak jauh dari situ, ibu Malin yang kebetulan sedang membantu para nelayan terkesiap. “MALIN? Apakah aku tidak salah dengar?”

Dia lalu mendekat dan melihat. Benar, itu Malin, anaknya yang telah lama pergi. “MALIN… MALIN KUNDANG anakku!” teriaknya sambil memeluk Malin erat-erat.

Malin cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan ibunya. “Hei, kau wanita tua, siapa kau hingga berani memanggilku sebagai anakmu?” teriak Malin lantang.

Ibu Malin terkesiap mendengar ucapan Malin.

Istri Malin berusaha menengahi keadaan. “Wahai Ibu, apakah Ibu bisa membuktikan bahwa Malin benar-benar anak Ibu?” tanyanya dengan santun.

Ibu Malin lalu berkata bahwa ada bekas luka di tangan Malin. Itu adalah luka yang didapat Malin saat kecil gara-gara dipatuk ayam milik tetangganya.

Istri Malin teringat, memang ada bekas luka di tangan suaminya. “Suamiku, mengapa kau mengingkari ibumu sendiri?” tanyanya dengan sedih.

Malin tak peduli. Dia tetap tak mengakui ibunya dan mengajak istrinya untuk meninggalkan tempat itu. Ibu Malin terus meratap, dan tepat pada saat itu, hujan turun deras sekali. Petir menggelegar dan angin bertiup kencang. Tiba-tiba, duarrr… petir menyambar tepat di kaki Malin. Kaki Malin mendadak kaku dan keras seperti batu.

Malin amat ketakutan. Dia sadar bahwa dia telah berdosa pada ibunya. “Ibu, ampuni aku. Tolong selamatkan aku,” teriaknya.

Ibu Malin berusaha menolong, tetapi terlambat. Tubuh Malin mengeras menjadi batu. Konon, batu yang menyerupai bentuk Malin Kundang masih dapat ditemui di sebuah pantai bernama Aia Manih, di sebelah selatan Kota Padang, Sumatera Barat.