Kisah Zaid bin Haritsah Lepas Dari Perbudakan

Pada masa kecilku, peperangan berdarah berlangsung di mana-mana di Arab. Suku- suku saling bermusuhan. Dengan pengecualian beberapa bulan dalam setahun, mereka saling menyerang dan menyebabkan banyak kematian.

Suatu hari ketika aku dan ibuku tengah pergi untuk mengunjungi kerabat kami, lagi-lagi serangan semacam itu terjadi. Para penunggang kuda bersenjata mengepung kami dan menangkapku, membawaku ke satu kota yang belum pernah kulihat sebelumnya, Mekkah.

Waktu itu aku berumur sembilan atau sepuluh tahun. Pada satu pekan raya besar tempat terdapat banyak anak seperti diriku, mereka menjualku sebagai budak. Tak lama kemudian seorang pria dengan wajah ramah datang dan membeliku. Belakangan, ia membawaku kepada seorang perempuan yang dipanggilnya bibi dan memberikanku kepadanya sebagai hadiah. Setelah itu, di sanalah aku tinggal.

Ada perasaan berbeda di rumah baruku itu. Entah bagaimana, rumah itu indah. Perempuan itu, yang kemudian kuketahui bernama Khadijah, dan suaminya memperlakukanku layaknya raja. Nama suaminya adalah Muhammad. Aku tidak menganggapnya sebagai tuanku, melainkan ayahku. Mereka berdua membuatku lupa bahwa aku adalah budak. Aku diperlakukan seolah aku adalah salah seorang anak mereka. Mereka biasa membagi makanan dan hal-hal lain denganku.

Waktu berlalu. Suatu hari ayahku Haritsah dan Paman Ka’b datang ke rumah. Mereka sudah mencariku ke mana-mana, kata mereka, dan menemukanku di Mekkah. Mereka memintaku kembali bersama mereka.

Tuanku Muhammad membiarkanku memilih dengan berkata, “Wahai, Zaid bin Haritsah! Aku tidak memaksamu. Kalau kau mau, pergilah bersama ayahmu. Tapi kalau mau, kau boleh tinggal bersamaku.”

Aku menyayangi ayah dan pamanku, tapi aku tidak ingin meninggalkan tuanku. Aku terlebih dulu memeluk ayahku dan kemudian menjelaskan keputusanku, ‘Ayah, aku ingin tinggal bersama tuanku Muhammad di Mekkah. Aku sangat menyayangi kalian, tapi aku tak bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang aku dapatkan di sini, di Mekkah, di mana pun.”

Ayahku mengira keberadaanku di Mekkah bukan karena keinginanku. Ketika aku sendiri memberitahukan keputusanku itu kepadanya, tentu saja ia terkejut. Agak sedih namun lega, ia kembali ke kampung halaman tanpa diriku.